Gagal Paham Desa dalam Desain Nawakerja Menteri Desa

oleh : Rooy Salamony

Ketika Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 dirancang, semangat utama dari para penggagas serta semua anggota DPR RI yang terlibat pembuatan produk hukum itu adalah : “biarkan desa bertumbuh menurut kehendak masyarakat desa”. Kegagalan pembangunan desa selama berpuluh tahun sejak merdeka adalah, desa diatur oleh orang Jakarta dalam kacamata proyek. Desa, dan masyarakat desa, tidak pernah menjadi subjek dari pembangunan di tempat mereka hidup. Mereka selalu menjadi objek. Bahkan terkadang menjadi keterangan. Keterangan penderita.

Manakala proses perencanaan partisipatif diinjeksi dengan program PNPM (program nasional pemberdayaan masyarakat) menampakan hasil, mata setiap orang terbuka, bahwa orang desa dapat merencanakan dan melaksanakan pembangunan menurut definisi mereka sendiri. Mereka tidak membutuhkan pengarahan. Mereka tidak membutuhkan proyek. Mereka tidak membutuhkan janji kosong politisi. Orang desa hanya membutuhkan pendampingan untuk mengarahkan mereka melakukan hal-hal yang benar dalam perencanaan. Proses perencanaan partisipatif inilah yang disalinrupakan dalam UU Desa.

Masyarakat desa dibiarkan menentukan nasib mereka sendiri melalui tiga tahap proses. Pertama, mendefinisi diri. Kedua, mendefinisikan persoalan yang dihadapi. Ketiga, merumuskan cara penyelesaian masalah dengan kemampuan diri. Penentuan nasib sendiri desa disebut dengan otonomi desa.

Dalam otonomi desa, posisi negara adalah mengakui (rekognisi). Negara mengakui bahwa desa adalah komunitas yang ada sebelum negara ada, dan dengannya diberikan hak untuk menentukan masa depan mereka sendiri (subsidiaritas).

Gagal Rancang Nawakerja

Tim yang bekerja di belakang Menteri Desa nampaknya tidak pernah paham semangat dasar UU 6 Tahun 2014 tentang desa. Manakala tim memberikan masukan kepada menteri melalui desain program kerja yang disebut nawakerja (9 program kerja), terbaca disana semangat negara melawan desa yang dikonstruksikan sendiri oleh negara dalam UU tentang Desa. Undang-undang Desa mengusung semangat memberikan kemandirian pada masyarakat desa. Tetapi Nawakerja melawan semangat itu dengan merumuskan program yang memasung kemandirian desa.

Empat catatan penting dari gagal paham itu adalah: Pertama, rencana pembangunan ribuan pasar desa oleh kementerian desa,; Kedua, rencana pembangunan BUMDesa oleh kementerian; Ketiga, rencana pembangunan jaringan online pelayanan publik; Keempat, penyiapan implementasi penyaluran dana desa 1,4 milyar.

Tentang hal pertama, yaitu pembangunan ribuan pasar desa, terbaca bahwa tim yang bekerja di belakang menteri tidak paham apa yang dimaksud dengan pasar desa. Pasal 76 UU Nomor 6 Tahun 2014 menyebutkan bahwa pasar desa merupakan salah satu aset atau kekayaan desa. Pengelolaan aset desa oleh desa diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Pasar desa sendiri bukanlah sebuah bangunan fisik pasar. Pasar desa adalah sistem perdagangan yang terjadi di desa.

Ketika orang-orang desa di Jawa menentukan hari tertentu, misalnya hari Rabu Pon, sebagai hari pasaran, maka pada setiap hari Rabu Pon, orang-orang berkumpul di suatu tempat untuk melakukan aktivitas pertukaran barang dan jasa. Tempat berkumpulnya orang-orang yang berdagang bisa di tepi sungai, bisa di dalam perahu di atas sungai, bisa di tanah lapang, atau dimana saja. Sistem kelembagaan itu yang disebut “Pasar Desa”.

Sejak semula, pemerintah telah menginstruksikan pemerintah daerah Kabupaten dan Kota untuk tidak mengambil sistem ini dari desa. Karena pada faktanya, ketika sistem ini berjalan dan memberi keuntungan pada desa, segera pemerintah kabupaten/kota mengambil alih sistem pasar desa menjadi pasar milik pemerintah. Di tempat dimana aktivitas pasar berlangsung dibangun bangunan pasar permanen. Selanjutnya, tiap orang yang datang untuk berdagang diwajibkan membayar retribusi kepada pemerintah daerah.

Saat undang-undang desa mengembalikan hak masyarakat desa atas aset seperti pasar desa, nawakerja kementerian desa justru merampas hak itu dalam proyek pembangunan pasar desa.

Tentang hal kedua, revitalisasi BUMDesa. BUMDesa adalah lembaga perekonomian desa yang dapat dikhayalkan serupa BUMD. Ini adalah perusahan milik orang desa. BUMDesa tidak dibentuk tiba-tiba. Ia harus dimulai dari embrio usaha masyarakat yang berkembang bertahun-tahun. Usaha ini dikelola bersama dengan bagi hasil bersama. Ketika masyarakat desa akan mengembangkan usaha ini, dan pemerintah desa tergerak untuk membantu, maka dibentuk BUMDesa. Dalam BUMDesa terdapat pemisahan antara modal asli masyarakat dan “modal pemerintah desa” yang disalurkan melalui pos pengeluaran pembiayaan “penyertaan modal desa” dari APBDesa.

Kepala desa tidak dapat serta merta mengarahkan dana penyertaan modal dalam BUMDesa. Keputusan penyertaan modal dari APBDesa kepada BUMDesa dilakukan dalam musyawarah desa. Adalah hal biasa dalam musyawarah jika usulan kepala desa ditolak oleh peserta musyawarah. Jika terjadi bahwa usulan kepala desa untuk menyertakan modal disetujui, maka BUMDes mendapatkan dana penyertaan modal. Penetapan penyertaan modal desa dilakukan melalui mekanisme rancangan APBDesa. APBDesa sendiri diikat oleh Peraturan Desa.

Tiap tahun, kepala desa wajib menyerahkan Peraturan Desa tentang Rancangan APBDesa kepada Bupati/Walikota untuk dievaluasi. Jika Bupati/Walikota telah mengevaluasi rancangan APBDesa maka pemerintah desa wajib memperbaiki rancangan dimaksud dalam waktu 20 hari. Mekanisme ini berimplikasi pada BUMDesa. BUMDesa dibentuk dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang pada proses akhirnya dikukuhkan dengan Peraturan Daerah. Manakala program revitalisasi BUMDesa ditangani oleh orang Jakarta, muncul pertanyaan sederhana: “apakah orang Jakarta tidak paham proses?”

Jangan Menabrak Aturan

Birokrasi berjalan di atas aturan. Karena secara teoritis, birokrasi adalah organisasi yang menjalankan sebagaian kekuasaan negara dalam bentuk urusan. Semua urusan ditentukan dalam undang-undang. Dalam hal implementasi penyaluran dana desa, kewenangan utama ada pada otoritas keuangan negara dalam hal ini kementerian keuangan. Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 72 huruf b dengan jelas menyebut bahwa apa yang disebut dengan dana desa 1,4 milyar adalah dana yang berasal dari alokasi APBN. Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN menegaskan argumen itu. Tidak ada kementerian yang berhak atas alokasi APBN selain kementerian keuangan.

Tiap tahun, pemerintah, menurut Pasal 3 PP 60 Tahun 2014, menetapkan dana desa dalam APBN. Dana itu ditransfer melalui APBD untuk selanjutnya ditransfer ke desa. Tiap desa menerima dana yang sebenarnya berbeda-beda jumlahnya menurut empat indikator. Pertama, jumlah penduduk. Kedua, angka kemiskinan. Ketiga, luas wilayah. Keempat, tingkat kesulitan geografis.

Ketika uang ditransfer ke dalam APBD, maka jelas pengaturan uang bukan merupakan wewenang Menteri Desa tetapi Menteri Dalam Negeri. Pernyataan implementasi uang ke desa dalam program nawakerja kemudian menjadi absurd.

Terakhir, tentang pembangunan jaringan pelayanan on-line di 3.500 desa. Jika bukan karena logika melawan otonomi desa, program ini semata-mata upaya menjadikan desa sebagai objek proyek. Pelayanan dasar orang desa hanya tiga. Pertama, kesehatan. Kedua, pendidikan. Ketiga, infrastruktur. Ketiga jenis pelayanan itu sudah dikerjakan dibawah standar pelayanan minimal (SPM) kementerian kesehatan, kementerian pendidikan, dan kementerian PU. Tidak dibutuhkan layanan online tersendiri untuk mengetahui jumlah penerima vaksin polio di desa, jumlah anak usia sekolah di desa, atau jumlah panjang jalan di desa.

Tugas pemerintah desa hanyalah membuka akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat desa untuk mendapatkan semua jenis layanan itu. Kemampuan pemerintah desa dalam pembukaan akses diukur melalui indeks pelayanan pemerintah yang cukup diatur dalam regulasi. Tidak dibutuhkan jaringan online untuk memantau pelayanan dasar masyarakat desa yang sebenarnya sudah ada.

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


https://www.american-writers.org/https://www.american-writers.org/https://xn--m3c5aagqqd1s.com/